Pada prinsipnya kebudayaan Banyumas merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Jawa, namun dikarenakan kondisi dan letek geografis yang jauh dari pusat kekuasaan keraton. Dengan demikian latar belakang kehidupan dan pandangan masyarakat Banyumas sangat dijiwai oleh semangat kerakyatan yang mengakibatkan pada berbagai sisi budaya Banyumas dapat dibedakan dari budaya Jawa (kearaton). Jiwa dan semangat kerakyatan kebudayaan Banyumas telah membawanya pada penampilan (perilaku) yang jika dilihat dari kacamata budaya keraton terkesan kasar dan rendah.
Kebudayaan
Banyumas berlangsung dalam pola kesederhanaan, yang dilandasi semangat
kerakyatan, cablaka (transparancy) explosure (terbuka) dan dibangun dari
kehidupan masyarakat yang berpola kehidupan tradisional-agraris. Kecenderungan
demikian karena disebabkan wilayah Banyumas merupakan wilayah pinggiran dari
kerajaan-kerajan besar (Jogyakarta, Surakarta).
Hal demikian mengakibatkan perkembangan kebudayaannya secara umum berlangsung
lebih lambat dibanding dengan kebudayaan negarigung
keraton.
bahasa
Bagi masyarakat Banyumas, bahasa Bayumasan merupakan bahasa ibu yang
hadir sebagai sarana komunikasi sehari-hari. Hal ini seperti yang dikatakan
Koentjaraningrat, orang Jawa memiliki pandangan yang sudah pasti mengenai
kebudayaan Banyumas selain memiliki bentuk-bentuk organisasi sosial kuna yang
khas, juga memiliki logat Banyumas yang berbeda (Koentjaraningrat, 1994:25).
Di Banyumas,
bahasa Banyumasan memiliki ciri-ciri
khusus. Dalam wawancara di rumahnya tanggal
Maret 2006, Yusmanto menceritakan bahwa bahasa Banyumasan dapat dibedakan dengan bahasa Jawa lumrah, antara lain: (1) berkembang secara lokal hanya di wilayah
sebaran kebudayaan Banyumas, (2) memiliki karakter lugu dan terbuka, (3) tidak
terdapat banyak gradasi, (4) digunakan sebagai bahasa ibu oleh sebagian besar
masyarakat Banyumas, (5) mendapat pengaruh dari bahasa Jawa kuno, Jawa
tengahan, dan Sunda, (6) pengucapan konsonan di akhir kata
diucapkan/dibaca dengan jelas, tidak
jarang dikatakan ngapak-ngapak, (7)
pengucapan vokal a, i, u, e, o dibaca dengan jelas.
Kehidupan Religi
Agama adalah merupakan unsur yang
paling penting di dalam kehidupan manusia untuk membentuk jati diri
sipemeluknya. Masyarakat di wilayah Kabupaten Banyumas secara mayoritas memeluk
agama Islam, dan selebihnya beragama Kristen, Budha, dan Hindu. Hal ini bisa
dilihat dari sarana peribadatan yang ada. Data dari kantor agama Kabupaten
Banyumas tahun 2003, yang tercatat, seperti Masjid sebanyak 1.385, Musholla
302, Langgar 5.087, Gereja Katholik 11, Gereja Kristen 85, Vihara 17, dan Pura
3. Semua tempat peribadatan tersebut tersebar di 29 wilayah kecamatan, yang
masing-masing kecamatan jumlahnya tidak sama.
Namun demikian, kegiatan religi yang dilakukan
masyarakat Banyumas masih memadukan budaya yang sudah dimiliki sebelumnya
dimana dapat dikategorikan sebagai wujud sinkretisme.
Sinkretisme adalah pencampuran antara Islam dengan unsur-unsur lokal (Ulil
Abshar Abdalla, 2002:458). Hal ini sependapat dengan Ahimsa Putra (2001:355),
bahwa sinkretisme pada prinsipnya
merupakan hasil yang dicapai dari proses untuk mengolah, menyatukan,
mengkombinasikan dan menyelaraskan dua sistem atau lebih, yang berlainan atau
bahkan berlawanan sehingga terbentuk sistem prinsip baru dan menjadikan berbeda
dengan prinsip sebelumnya.
Pengaruh kebudayaan India (Budha-Hindu) terhadap
kebudayaan Banyumas terutama dapat
dilihat artefak peninggalan sejarah dan sistem kepercayaan masyarakat Banyumas
yang dekat dengan sistem kepercayaan pada kedua agama tersebut.
Dalam hal sistem kepercayaan, pengaruh Hindu-Budha
tercermin pada kuatnya kepercayaan animisme,
dinamisme, totemisme, dewa-dewi serta kekuatan-kekuatan supranatural yang datang dari alam dan
roh nenek-moyang. Di daerah Banyumas terdapat berbagai macam ritual yang
dilakkan secara berkala yang dihitung berdasarkan kalender Jawa maupun pranata mangsa. Misalnya: ritual ruat bumi, suran, penjamasan pusaka
pada bulan Mulud, sadranan, unggah-unggahan pada bulan Sadran, udhun-udhunan pada bulan Syawal, cowongan untuk minta hujan yang biasanya
dilaksanakan pada setiap mangsa kapat dan kelima.
Dalam kehidupan sosial, masyarakat Banyumas akrab
sekali dengan foklor yang sangat
dipengaruhi oleh ajaran animisme-dinamisme
dan perkembangan Islam abangan.
Kepercayaan terhadap takhayul, kekuatan-kekuatan supranatural yang melingkupi
hidup manusia dan kepercayaan tentang ketuhanan menggambarkan pencampuran
antara sistem kepercayaan dan ajaran agama. Contoh konkrit yang dapat dijumpai
dalam mantra-mantra tradisional. Seorang berjalan ditempat-tempat yang angker
pada tengah hari atau sendekala, akan mengucapkan mantra tradisional “humilah millahum mbah putune bade/ajeng
liwat”, “cempe-cempe undangena barat
gedhe tek upahi jangan tempe”.
Dengan demikian selain masyarakat di Banyumas taat
menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama, dalam kesehariannya mereka juga
menjalankan adat budaya sinkretisme.
Kegiatan semacam ini bisa dilihat dari adanya kegiatan-kegiatan ritual seperti selamatan, resik, jabel, dan sebagainya. Doa yang dipanjatkan kepada Tuhan
dengan menggunakan doa-doa menurut agama Islam atau Kejawen yang dilengkapi dengan sarana pendukung sesaji. Doa-doa menurut agama Islam
biasanya dengan menggunakan syair bahasa Arab sedangkan kejawen menggunakan bahasa Jawa atau bahasa setempat.
Dalam masyarakat Bayumas, tradisi selamatan biasanya dilaksanakan dirumah
yang bersangkutan (punya hajat) dengan mengundang tetangga-tetangga dekat untuk
makan bersama. Tradisi ini sering diistilahkan dengan kenduren, kepungan, wilujengan
atau bancakan yang biasanya
dilaksanakan pada petang hari (setelah sembahyang Maghrib). Selamatan ini diwujudkan dengan nasi
tumpeng beserta lauk-pauknya (dalam pertunjukan Jemblung disebut komaran) yang sebagian nantinya akan
dimakan bersama, dan selebihnya akan dibagi secara adil untuk dibawa pulang
sebagai berekat (berkah) sesuai
jumlah yang diundang. Sedangkan yang diundang bapaknya (orang tua laki-laki)
dan jika bapaknya berhalangan hadir akan bisa diwakili oleh anaknya yang laki.
Jika kebetulan sebagian yang diundang tidak bisa datang, nantinya jatah mereka
yang disebut “bandulan” atau “berekat” akan diantar ke rumahnya.
Ungkapan
Tradisi selamatan bentuknya bermacam-macam, misalnya yang berkaitan dengan
lingkaran hidup dalam kelahiran bayi atau muyen
(ketemu bayen). Dalam tradisi ini di Banyumas, dimulai dari kandungan (mbobot)
umur 4 bulan, kemudian 7 bulan (mitoni atau keba). Setelah bayi lahir masih
dilanjutkan dengan selamatan untuk puput puser, sepasaran dan selapanan yang
setiap malamnya diadakan tirakatan. Masih dalam rentetan kelahiran, ada
upacara-upacara selamatan untuk memperingati setiap jatuhnya hari sepasaran (weton) nya anak dengan
dibuatnya bancakan kecil. Bancakan keci
untuk memperingati hari weton (pasaran) anak dan pesertanya anak-anak kecil
disebut dengan isilah “among-among” yang dilaksanakan pada siang hari.
Resik adalah suatu proses kegiatan untuk
membersihkan diri dari malapetaka dan memohonkan ampunan dosa leluhurnya kepada
Tuhan dengan cara nyekar ke kuburan
di desanya. Misalnya jika salah satu anggota masyarakat akan punya hajat/gawe,
mereka membawa kembang telon (bunga
bermacam tiga), menyan bisa dibakar
atau bisa tidak, dan upet bilamana
kemenyan tersebut akan dibakar. Upet
bagi masyarakat Banyumas biasanya terbuat dari tepes (kulit kelapa) atau mancung
(kulit bunga kelapa). Jika salah satu masyarakat mau punya hajat tertentu gawe entah itu sunatan atau mantu perkawinan, biasanya satu minggu
sebelum hari pelaksanaannya.
Tradisi jabel pelaksanaannya dilakukan di sawah
jika menjelang panen padi yang diwujudkan dengan sesaji sajen yang berisi kembang
telon, menyan, jajan pasar dan yang tidak ketinggalan adanya gula merah dan kelapa agak muda (kemuping) yang sudah dikupas dari batok atau
tempurungnya serta bandos. Bandos dibuat dari campuran antara beras,
kelapa, gula merah, dan garam dengan cara ditumbuk. Keunikan tradisi jabel
tersebut, dan jika sudah diberikan doa, kemudian makanan yang ada diambil oleh
orang lain dengan mengucapkan kata-kata “ngeong” (suara kucing) atau ngucing.
Selain proses kegiatan untuk membersihkan diri
dengan cara nyekar tersebut masih ada upacara ritual lainnya seperti tradisi
yang biasa dilakukan oleh masyarakat Banyumas, diantaranya Penjamasan Jimat, di beberapa desa seperti di desa Kalisalak dan
desa Gambarsari kecamatan Kebasen, serta di Kalibening desa Dawuhan kecamatan
Banyumas, dan Upacara Penjaroan. Di desa Kalisalak dan desa Gambarsari, konon
penjamasan atau pensucian benda-benda keramat dari Peninggalan Sunan Amangkurat
1 dari kerajaan Mataram yang dilaksanakan setiap tanggal 12 & 13 bulan
Maulud. Upacara ritual ini diawali dengan dikeluarkannya pusaka atau jimat oleh
juru kuncinya dari tempat penyimpanan yang kemudian di tempatkan ditempat yang
sudah disiapkan.
Upacara Tradisional Jaro Rojab. Prosesi upacara untuk mengganti jaro yang terbuat dari
bambu yang mengelilingi seluruh kompleks
Masjid Saka Tunggal di desa Cikakak kecamatan Wangon Upacara tersebut
dilaksanakan setiap tanggal 26 dan 27 Rajab dalam hitungan aboge, yaitu mundur satu hari dari hitungan tahun Hijriyah. Upacara
tahunan ini dilaksanakan oleh masyarakatnya untuk memperingati atas
meninggalnya Syekh Kyai Mustholih yang dimakamkan disekitar Masjid Saka
Tunggal. Prosesnya bambu dibawa secara
sukarela oleh penduduk setempat kemudian dibuat bahan jaro (pagar) dan sebelum
dipasang dicuci dengan air sungai yang ada di sekitar kompleks makam.
ditulis untuk tugas matkul ilmu budaya dasar
sumber: PS.Seni Karawitan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar